Seni dan Revolusi

16.47
Seni dan Revolusi -
Total
0
Facebook
Twitter
Google+
Linkedin
Whatsapp
Bung Karno and Sudjojono

Bung Karno dan Sudjojono

S. Sudjojono, 1913-1986

Salah satu alat utama revolusi adalah seni. Jadi, juga, ide-ide revolusi sering merangsang revolusioner visual - poster dan ikon yang mewujudkan aspirasi mereka yang berjuang melawan orde lama. Art juga melayani menang dalam pencarian mereka untuk gambar ikon yang mewujudkan prinsip-prinsip revolusi.

Bapak Indonesia, pertama Presiden Soekarno, dipahami dengan baik perlunya menciptakan sebuah gerakan seni yang benar-benar Indonesia untuk menempa identitas nasional yang melampaui perpecahan agama, etnis dan bahasa yang melanda nusantara. Untuk melakukan hal ini ia berkumpul di sekelilingnya lingkaran seniman muda dan berbakat. Salah satu yang paling signifikan dari itu S. Sudjojono, salah satu pendiri utama dari Persagi (1938-1943), yang bersama dengan banyak prestasi yang lain akan memimpin kritikus seni Trisno Sumardjo untuk menyatakan dia "Bapa of Modern Art di Indonesia" pada tahun 1949.

Lahir di Medan, Sumatera untuk keluarga buruh migran Jawa miskin, S. Sudjojono, tersandung pada kebesaran sebagai hasil dari kebetulan dan bakat murni. Ini akan dimulai pada tahun 1925 ketika seorang guru seni mengagumi mengirimnya ke Jakarta. Di sana ia akan memperoleh sekilas intim ke bergengsi Batavia Art Circle, yang menampilkan pameran dari Hindia Sekolah Indah serta sering-revolusioner seni Eropa kontemporer. Dalam proses ini ia juga akan diperkenalkan kepada banyak sekarang paling terkenal seniman modern Indonesia termasuk Affandi dan Hendra Gunawan yang juga anggota pendiri Persagi.

Pada tahun 1947 Sudjojono akan menyajikan mungkin gambaran yang paling menyentuh Kemerdekaan Indonesia perjuangan - minyak besar di kanvas berjudul "Kawan-kawan Revolusi" (Kawan-kawan Revolusi). Tidak seperti banyak lukisan dalam genre revolusioner, "Kawan-kawan" membuat suatu usaha untuk memuliakan atau mempercantik subjek. bangsawan utamanya tercermin dalam kejujuran gelap dan murung nya. Di sini kita melihat wajah-wajah kotor dan lelah pria dan wanita Indonesia dari semua lapisan masyarakat menatap dengan keberanian dan ketabahan yang tampaknya mengingat kawan jatuh, pemuda yang hilang dan bahkan lebih tantangan yang akan datang.

Bung Karno

Bung Karno

Sementara berdirinya Republik Indonesia mengakhiri lebih dari 300 tahun dominasi asing dan penindasan, perjuangan untuk membawa kemakmuran, kesetaraan dan keadilan tetap sulit dipahami. Seperti banyak seniman dari jamannya S. Sudjojono diwujudkan keprihatinannya untuk kesejahteraan rakyat biasa dalam lukisan petani dan orang-orang yang bekerja. Pada 1970-an ia akan mulai mengeksplorasi mata pelajaran yang lebih surealistik yang sering disarankan keterasingan dan kecewa dengan Brave New World yang pernah muncul.

kredensial revolusionernya yang diakui dalam seleksi untuk melukis mural besar di Museum Fatahillah yang menggambarkan perjuangan Sultan Agung dari Mataram (memerintah 1613-1646) melawan Jan Pieterszoons Coen (1587-1629), pendiri Cape dan buritan VOC atau Perusahaan Hindia Belanda. Ironisnya lukisan terletak di City Hall Belanda di mana Coen duduk ketika Sultan Agung berhasil mengepung kota pada tahun 1628. Akhir kemenangan sering manis.

Pada tahun 1985 S. Sudjojono akan me-mount pameran terakhirnya di Ancol Galeri seni bersama dengan Affandi dan Basoeki Abdullah. Dia akan berlalu pada bulan September tahun berikutnya. Pada tahap terakhir hidupnya ia sebagian besar meninggalkan gaya khas anti-estetika mudanya. Penyebab yang paling mungkin adalah cinta yang dapat waktu bahkan terliar revolusioner. Hari ini ia dihormati untuk peran mani dalam seni dan sejarah Indonesia bukan untuk nya masih hidup dari bunga melainkan kekuatan revolusioner dan visi - Merdeka

Total
0
Facebook
Twitter
Google+
Linkedin
Whatsapp
Previous
Next Post »
0 Komentar